EUFORIA: FUTSAL, KEJUTAN, DAN KEKOMPAKAN
Ah, ah…pusing, pusing…hah…hah…mana???mana bo...???. DUUUUNGGG!!! Tiba-tiba, aku merasakan bagian kanan wajahku sampai ke telinga seperti disambar petir. Aku pun jatuh berdebam keras ke lantai ubin. Kepalaku makin pusing. Telingaku berdenging. Wajahku seperti terbakar. Tangan kiriku meremas dadaku yang terasa semakin sempit. Sedangkan tangan kananku terangkat seperti hendak meraih langit. Meraih impian yang belum aku capai.
Hah, hah…apakah aku akan mati di sini??? Oh, tidak…mataku berkunang-kunang…aku sekarat! Bapak…Ibu…Maafkan aku, maafkan anakmu yang belum membahagiakanmu…Maafkan aku sahabat-sahabatku…tolong bayarin utang-utangku setelah aku tiada…Ah…ah…Ga, gawat!
* * *
Sabtu, 5 Januari 2008…
Siang itu aku begitu bersemangat. Kenapa? Karena aku akan bertarung habis-habisan. Setelah hidup kembali menunjukkan kejutannya padaku kemarin dengan tidak memberikan apa yang kuingikan, aku akan melampiaskan segala rasa yang berkecamuk di hati pada satu benda. Ya, benda istimewa yang tidak bersudut. BOLAAAAAA….!!!
Malam nanti, aku dan sahabat-sahabatku di Asrama Beastudi ETOS akan bertanding futsal indoor di salah satu tempat di jalan Dago. It's great you know! Sudah lama aku tidak olahraga. Badanku sudah kaku-kaku.
Dari kemarin, aku telah belajar bahwa hidup itu sulit ditebak. Tapi aku masih penasaran untuk menebak hidup. Kali ini ada di lapangan futsal. Dari siang, aku membayangkan akan mengiring bola, meliuk-liuk seperti Lionel Messi, melewati tiga sampai empat orang, dan merobek gawang musuh dengan satu tendangan spektakuler. Kemudian, aku akan melakukan celebrating goal ala Zlatan Ibrahimovic. Hemmm…Kereeeeeen.
Malam minggu, jam tujuh…
Tibalah saatnya aku turun ke lapangan. Merealisasikan bayanganku yang luar biasa itu. Kami berlima belas dibagi menjadi tiga tim. Aku pertama kali main. PRIIIITTTT!!!. Bola pun melayang setelah ditendang
Tiga menit berlalu. Aaaahhhh…dadaku serasa diinjak gajah bunting. Sulit sekali menarik napas. Sepertinya paru-paruku menciut. Otot kakiku lemas dan sudah tidak mau menuruti perintahku. Aku tewas. Sambil tetap berlari-lari sempoyongan, aku tetap mengincar Si Kulit Bundar. Dan, DUUUUNNGGGG…dicari-cari susah, ternyata datang sendiri. Hanya saja datangnya bukan di tempat yang aku kira. Si Bola datang padaku bagai petir menyambar di bagian kanan wajahku. Mampus gueeee….
* * *
Satu jam berlalu. Pertandingan pun selesai. Aku ngos-ngosan. Lemas, pusing, bermandikan keringat, dan BAU!!. Ternyata, hidup menunjukkan lagi kejutannya. Tebakanku tentang apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan ternyata salah. Tapi aku masih tetap penasaran untuk menebak arah hidup. Just positive thinking! Di bidang sepak bola, mungkin aku hanya berbakat sebagai penonton dan komentator yang mencaci-maki pemain yang salah oper. Tapi, aku masih punya Basket. Aku yakin mampu di bidang itu,,,So, what's the matter uncertainty of life? Justru ini yang membuat hidupku jadi seru.
* * *
Cerita masih belum usai. Setelah selesai bertarung, kami hendak kembali ke peraduan. Tim dibagi dua kelompok. Aku ikut kelompok pertama dan turun ke lantai satu dengan menggunakan lift. Ya, dasarnya orang-orang desa, katrok, mau ke lantai satu harus muter-muter dulu ke basement, dan tersasar di tempat Biliard.
Kami bingung. Mau bertanya, malu. Akhirnya, aku menebalkan kulit wajahku dan bertanya ke salah satu petugas, "Kang, kalau tangga di mana ya?". Ternyata kita harus menembus ruang biliard. Ruangan itu berisi orang-orang yang berpenampilan gaul. Pria-wanita yang nungging-nungging di atas meja berwarna biru untuk menyodok bola yang ada di atasnya.
Kami pun melangkah cepat sambil menundukkan kepala. Kami tahu diri. Dengan penampilan compang-camping seperti baru pulang dari perang Irak seperti ini, mana bisa mengumbar senyum ke sekliling kami. Setelah di dalam angkot, aku melihat sesuatu yang lebih memalukan. Ternyata, selagi kami berjalan melewati ruang Biliard, supervisor kami tidak mengenakan alas kaki alias Nyeker men…Ternyata supervisor kami superkatrok. Tawa kami pun meledak. Dasar wong ndeso, rusak bener deh…
* * *
Angkot pun membawa kami ke asrama. Sampai di perempatan Simpang Dago, ternyata ada kejutan lain. Dalam keheningan karena kami kelelahan, Kang Irwan berkata, "Eh, eh…itu di mobil belakang teh Didi Petet ya???". Sontak kami semua bengun dari duduk kami, ribut melihat ke belakang. Ternyata benar. Itu Didi Petet, Si Kabayan yang naik mobil SUV-kalau tidak salah. Setelah itu, aku baru tahu ternyata anak-anak ETOS Bandung katrok semua. Setelah tahu ada Didi Petet, mereka terus melihat ke belakang. Bahkan ada yang mengangkat tangan dengan pose piece.
Kemudian seorang pengamen mengahmpiri kami. "Kang, kang…di mobil belakang aja…Didi Petet tuh, beneran! Artis", kata Ali ke Akang pengamen. Akhirnya dia mengamen di mobil belakang, dan BRAVO! Si Akang pengamen dikasih duit sama Didi Petet. Gak cuma receh lagi. Lalu Si Akang pengamen mengangkat kedua jempolnya ke arah kami dan sontak kami pun ribut bertepuk tangan.
Lampu lalu lintas pun hijau, dan angkot kami berjalan lagi. Begitu juga dengan mobilnya Kang Didi Petet. Kami menantikan saat-saat mobilnya Kang Didi menyalip angkot kami. Ketika saat itu terjadi, serentak kami berlima belas berteriak sambil melambaikan tangan, "AKHIRNYA DATANG JUGAAA...". Lalu bertepuk tangan sambil cengengesan. Keributan yang kami buat ternyata menyita perhatian beberapa muda-mudi yang sedang jajan di pinggiran jalan. Dasar katrok…Pasti Kang Didi bilang gini dalem hati, "Ni anak-anak, pada ngapain sih ngeliatin terus, pake ketawa-ketiwi segala lagi…Kampung pisan".
Yah, itu lah kami. Larut dalam euforia kekompakan yang luar biasa. Tidak memandang angkatan atau universitas mana. Kami tersenyum bersama, bercanda bersama, susah pun bersama. Tidak peduli orang bilang apa. Kami adalah satu komunitas keren edan yang bernama ETOS BANDUNG. No matter what they say! Together, we'll ready to face the challenge!!!!
By
Wahyu “Yuyu” Susanto (Etoser Bandung 2004)